Pertanyaan pertama yang harus kita jawab adalah: Who am I? Saya telah
menjawab bahwa saya adalah seorang intelektual yang tidak mengejar kuasa tapi
seorang yang ingin mencanangkan kebenaran. Dan saya bersedia menghadapi ketidak-populeran,
karena ada suatu yang lebih besar: kebenaran.
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang
kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka
terjunlah.
Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa
dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.
Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati
muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah
mereka yang mati muda.
Saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih
baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.
Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa
Indonesia berkembang menjadi "manusia-manusia yang biasa". Menjadi
pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia
yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya
sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.
Saya ingin melihat mahasiswa-mahasiswa, jika sekiranya ia mengambil
keputusan yang mempunyai arti politis, walau bagaimana kecilnya, selalu
didasarkan atas prinsip-prinsip yang dewasa. Mereka yang berani menyatakan
benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan
kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.
Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau
ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman
seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik saya dari sekolah
menengah. Mereka akan jadi korban-korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh
mahasiswa semacam tadi.
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah
tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan, sejarah tidak akan
lahir?
Bagiku perjuangan harus tetap ada. Usaha penghapusan terhadap kedegilan,
terhadap pengkhianatan, terhadap segala-gala yang non humanis…
Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang
yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah.
Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada
kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita.
Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan
berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
To be a human is to be destroyed.
Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani
menentang angin.
Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan
adalah kejahatan.
I’m not an idealist anymore, I’m a bitter realist.
Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang
membuat saya keluar air mata.
Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat
mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.
Saya tak tahu mengapa, Saya merasa agak melankolik malam ini. Saya melihat
lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas jakarta dengan warna-warna baru.
Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan.
Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah saya merasa diri saya yang lepas
dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan
sayang yang amat kuat menguasai saya. Saya ingin memberikan sesuatu rasa cinta
pada manusia, pada anjing-anjing di jalanan, pada semua-muanya.
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa
apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan
dunia yang lebih baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar