Kini, Karena Masa Lalu

     Gue nulis ini gak pake bahasa yang berbelit-belit. Bukannya karena malas belajar kata dengan arti yang berat, tapi buat gue nulis dengan cara ini adalah yang cerminan diri gue. Me just being me. Jadi, jangan ngarepin tulisan ini layaknya tulisan Raditya Dhika, Pandji, atau tokoh penulis berat lainnya.
     
     Awalnya mereka yang nulis berat juga bukan karena mereka awalnya nulis yang berat juga. Mereka menulis sambil belajar. Tengoklah Pangeran, penulis artikel bola dengan penggemar dan penentang yang hampir sama, harus browsing di Google dulu buat tahu pemenang Piala Konfederasi 2009, sebelum dia menulis artikelnya tentang Piala Konfederasi 2013.

     Raditya Dhika pun juga tak jauh beda dengan penulis lainnya. Dia juga harus mengalami penolakan, sebelum karyanya diterima penerbit, dan namanya menggema di Twitter dan media sosial lainnya.

     Beda dengan Raditya, Alberthiene Endah, penulis biografi paling mansyur di negeri ini memang sudah hobi dengan buku sejak dia belum tamat wajar 12 tahun. Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo di tahun 1971, adalah penulis berat yang paling gue kagumin. Kata-katanya sering mengandung metafora berat yang sering, bagi pembaca pemula harus browsing dulu untuk mencari tahu artinya, yang menjadikan bukunya hanya sampai dibaca sampai seperempat halaman oleh pembaca muda.

     Sebuah proses, bukan, banyak proses tepatnya, harus kita lalui untuk menjadi diri kita sekarang. Proses tersebut, secara tak sadar membentuk kita, meracuni pikiran dan langkah kita selanjutnya. Adanya harapan, membuat proses itu terus berjalan seperti kereta uap yang tak pernah kehabisan batu bara.

     Proses tersebut adalah sebuah proses belajar. Ada dua tipe belajar, melalui buku dan perjalanan. Melalui buku, kita belajar tentang dasar keilmuan yang telah dialami oleh orang lain, kemudian di tuliskan, lalu di sebarluaskan dengan mencetak esainya ribuan eksemplar. Ilmu dari buku juga tak sepenuhnya benar. Ilmu yang sekarang kita anggap benar, adalah ilmu yang salah setelah ada ilmu lain yang menyangkalnya.

     Di sekolah, yang mengambil jurusan IPA pada jenjang SMA, tentunya paham betul, teori atom pertama diungkapkan oleh John Dalton yaitu atom adalah bagian terkecil dari sebuah partikel yang tak mungkin dipecah lagi. Tapi, pada masanya adalah teori atom Niels Bohr lah yang paling dapat diterima dan dibenarkan.

     Sekarang, dengan ilmu teknologi yang sudah sangat maju, ditemukanlah quark, pembentuk dari proton dan elektron, yang notabene adalah penyusun atom. Dimulai dari John Dalton sampai Higgs Boson, penemu teori God "Damn" Particle, ilmu terus berkembang, dari masa lalunya.

     Cara kedua, adalah dengan perjalanan. Dalam perjalan, kita saraf sensorik kita menangkap sebuah ilmu yang layak kita kembangkan, kemudian masuk ke otak untuk kita mengolah bagaimana ilmu itu dikembangkan, lalu saraf motorik kita bekerja sesuai perintah otak.

     Dengan cara ini, kita bisa menemukan teori kita sendiri, atas dasar yang telah kita pelajari sebelumnya, lewat perjalanan sebelumnya, atau buku yang telah kita baca.


     Maka, kita tahu, proses yang kita alami sebelumnya, adalah hal yang dapat kita gunakan sebagai dasar, atau pun pembanding. Masa lalu tak pernah bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Seperti teori bawang Cisneros, kita yang sekarang adalah kumpulan kita di masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar