SINOPSIS : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


karya : Darwis Tere Liye

            “Bapak belum mati!” aku berteriak marah.
            “Bapak kau tahu persis apa yang dia lakukan, Borno.” Ibu bersimbah air mata memelukku erat-erat.
            “Bapak belum mati! Kenapa dadanya dibelah!” Aku berusaha menyibak tangan Ibu.
            “Bapak belum matiii! Dia bisa sadar kapan saja!” Aku loncat, beringas menahan ranjang Bapak.
Setelah tamat SMA, aku menggantikan tugas Bapak untuk menafkahi keluarga ini. Pekerjaan pertamaku adalah seorang buruh pabrik karet di tepian Kapuas. Pekerjaanku ini yang bisa membuat Ibu tertawa di pagi hari sebagai penghormatan dan tertawa di sore hari tapi, kali ini untuk rasa iba Ibu untukku.
            Setelah beberapa hari berguru mengemudikan sepit pada Pak Tua, ini adalah hari pertamaku mengemudikan sepit sendiri. Hari-hari belajar sepit yang susah ditambah ospek dari Bang Togar yang selalu ingin menang sendiri. Bapak dulu juga pernah berwasiat agar tidak menjadi pengemudi sepit. Kalau ini bukan mandat dari Ibu aku bakal tidak pernah mau melakukan ini.
            Awalnya semua orang turun dari sepit karena tahu kalau aku yang mengemudikan sepit, tapi tidak bagi gadis berbaju kurung kuning yang tetap duduk di haluan sepit. Akhirnya, sepitku pun terisi penuh penumpang.
            Kata petugas timer ada barang yang tertinggal di sepitku. Ternyata sepucuk surat bersampul merah, dilem rapi, dan tanpa nama. Tapi, ini surat siapa? Untuk siapa?
            Aku bercerita pada Andi soal gadis berbaju kurung kuning, mengembangkan payung merah, rambut tergerai panjang, wajah sendu menawan yang duduk. Andi langsung berargumen. Menurutnya, gadis sendu menawan itulah pemiliknya.
            Setiap hari aku mengamati gadis itu menyeberang Kapuas menumpang sepit. Sampai akhirnya kutahu kalau dia selalu berangkat pukul tujuh lima belas pagi. Gadis itu menumpang sepitku hari ini. Ini adalah hari keempatku menunggu peristiwa ini. Kami akhirnya sering bertemu di sepitku. Tapi, sudah beberapa hari aku selalu bertemu dengannya aku belum mengetahui namanya.
            Esok hari, perhitunganku masih sempurna tepat. Sepit nomor tiga belasku merapat persis ketika gadis itu berdiri paling depan di dermaga. Setelah basa-basi sana-sini, akhirnya terucaplah kalimat yang menanyakan nama gadis itu.
            Ketika gadis itu bersiap turun dari sepit, dia berkata pelan, “Namaku Mei, Abang.” Dia lantas berdiri meninggalkanku menganga macam orang sakit gigi di buritan perahu.
            Pagi itu, aku mencarinya ke yayasan tempat dia mengajar. Ibu Kepsek memberitahuku alamat rumahnya. Dua jam perjalanan dari yayasan, akhirnya kutemukan rumahnya. Gadis itu keluar duluan dengan menyeret koper sebelum aku mengetuk pintu. Dia akan meninggalkan Pontianak menuju Surabaya. Sopir mobil jemputan sudah siap mengantarnya menuju penerbangan paling sore hari itu.
***
            Sopir taksi membawa kami ke penginapan yang disarankan Pak Tua. Setelah bersiap, kami berangkat ke tempat terapi di Surabaya.
            Setelah terapi hari ini, kami masih akan menjalani terapi untuk esok hari. Entah ini rencana Tuhan atau kebetulan, aku malah bertemu Mei di ruang tunggu tempat terapi. Dia mengantarkan neneknya yang juga akan terapi.
            Esok hari kami diantar Mei keliling kota Surabaya. Setelah seharian menemani kami keliling kota Surabaya, aku disuruh Pak Tua untuk mengantar Mei pulang. Aku masuk kerumahnya, menunggu sendirian di ruang tamu. Terdengar suara berdehem. Aku buru-buru menoleh. Aku menyapa sesopan mungkin.
            Tak menjawab salamku, lelaki setengah baya itu bertanya siapakah diriku. Dia menatapku tajam dari ujung rambut ke ujung kepala.
            “Aku tidak suka kau ada di sini,” laki-laki itu tua itu berkata tanpa basa- basi, intonasinya pasti.
            Mei menuruni tangga dan memberikan kaus yang telah dibawanya. Mei segera menjelaskan kalau itu papanya.
Esok lusa, aku berpamitan dengannya karena esok kami sudah harus pulang ke Pontianak. Aku juga mengembalikan kaus yang dia pinjamkan saat aku mengantarnya pulang saat itu. Aku tidak mau menyimpan barang yang akan membuatku ingat dia-ini juga salah satu kesimpulanku berfikir selama ini. Sore hari, kami berangkat ke Pelabuhan Tanjung Perak. Selamat tinggal, Surabaya.
***
            Aku sempat berfikir kenapa petugas timer mengosongi satu tempat duduk di sepitku. Katanya ada penumpang spesial. Setelah menunggu beberapa saat, penumpang spesial itu datang juga. Dia adalah Mei.
Minggu itu, Mei mengajakku berpelesir keliling Pontianak. Kami sepakat bertemu pukul sembilan pagi di dermaga. Pukul sembilan lewat lima belas tapi, Mei tidak terlihat tanda-tandanya. Sudah pukul setengah sepuluh, sudah ratusan kali aku melirik ke gerbang dermaga, sudah ratusan kali pula aku mendesah. Pukul sepuluh, antusiasme sempurna digantikan sebal. Satu persatu penonton pergi. Aku pun sudah menyerah dan memutuskan untuk pulang. Tapi, Bang Togar tetap menasehatiku agar tetap semangat.
            Akhirnya aku bertemu Mei. Kami bertemu persis di tengah tangga rumah Pak Tua. Kami bertatapan wajah dengan kaku. Sepuluh hari terakhir aku tidak pernah berhenti berharap bertemu dengannya. Tapi, dia malah langsung pergi menjauh dariku. Punggung Mei hilang di kelokan gang.
            “Kenapa Mei datang kerumah Pak Tua?” Aku langsung bertanya, padahal aku masih menggenggam rantang makanan. Dengan sedikit paksaan akhirnya Pak Tua mau bercerita. Ternyata Mei sudah dua kali datang ke rumah Pak Tua. Bertanya beberapa hal tentangku. Termasuk dengan sepit yang kujual untuk menambah uang membeli bengkel.
            Mei menemuiku di bengkel. Membawa makan siang untukku. Sambil makan, aku mengajaknya untuk membagikan jaket dan stiker kepada tukang ojek esok hari. Mei menyanggupi permintaanku.
            Persis di angka ke-17, Mei turun dari opelet. Gadis itu segera mengembangkan payung karena gerimis mulai menyergap.
            Setelah berkeliling, perjalanan hari itu kami tutup dengan makan siang di restoran terapung. Sempat digodai pengemudi sepit dan tentunya Bang Togar saat kapal besar ini melintasi dermaga. Aku mengantar Mei pulang sampai rumahnya karena dia mau memberikan sesuatu untukku.
            Di rumah Mei, aku kembali bertemu dengan papanya. Untuk kedua kalinya, papa Mei menyuruhku untuk menjauh dari anaknya. Aku tercekat. Seketika.
            Mei yang baru menuruni anak tangga mendekat. Memberikan buku terbaik tentang  mesin yang dibawanya kepadaku. Aku segera bergegas pulang. Patah-patah aku izin pamit, menjulurkan tangan, yang hanya dibalas dehem ringan.
Pukul enam sore di bawah penerangan lampu workshop, berdirilah Mei. kelihatannya di baru pulang dari mengajar di yayasan. Ternyata dia menemuiku hanya untuk berpesan agar tidak menemuinya lagi. Aku berpikir kalau ini adalah perintah papa Mei tapi, dia menggeleng. Dia bahkan tidak tahu kalau papanya juga melarangnya menemuiku lagi. Ini menyisakan banyak pertanyaan bagiku. Kenapa Mei menyuruku berhenti menemuinya.
***
            Aku terus berusaha menghubungi Mei. Aku mencoba menemui di sekolahnya, di rumahnya. Setelah beberapa hari mencoba, aku akhirnya hanya menitipkan surat yang kutulis kepada Bibi agar memberikannya kepada Mei. Beberapa kali aku mengirim surat itu tapi, Mei tak kunjung menemuiku.
Final lomba sepit sore itu digelar. Aku, Bang Togar, Sarah, dan Johan pengemudi sepit dari hulu masuk ke babak final. Tiga pengemudi lain sudah menuju sepit masing-masing, hanya aku yang tertahan di bibir dermaga.
            Bibi, penjaga rumah Mei yang memegang tanganku.
            Dia tersengal, berpeluh, tangannya gemetar menjulurkan lipatan kertas.
            “Maafkan aku, Abang. Aku pulang ke Surabaya.”
            Kau sungguh terlalu, Mei. kutulis pesan berbaris-baris, hanya ini balasan pesan kau? Kau sungguh tega. Tanpa basa-basi aku lansung menuju bandara. Menemui Mei.
            Aku masuk ruang check-in, tetapi tidak ada Mei di sana. Aku berusaha masuk ruang tunggu. Susah payah aku menjelaskan kepada petugas, tapi mereka tetap tidak mengizinkanku masuk.
            Satu jam aku diinterogasi. Petugas akhirnya melepaskanku setelah melihat kertas kecil surat Mei yang masih kusimpan dan pesan Mei yang barusan disampaikan lewat Bibi. Aku keluar pintu ruangan dan mendapati Mei ada di situ.
            Dia melewatkan penerbangan jam enam agar tetap bisa memastikanku baik-baik saja. Aku punya kesempatan bertanya padanya sekarang, tapi dia tetap belum bisa menjawab. Karena rasa sebal, aku mengungkapkan rasa cintaku padanya. Bahwa aku sayang padanya.           “Apakah, apakah kau menyukaiku?” kalimat itu keluar dari mulutku agar semuanya segera menjadi jelas.
            Mei berpesan kepadaku agar terus menjadi bujang dengan hati paling lurus di sepanjang tepian Kapuas. Dia akhirnya pergi ke Surabaya.
            Kami baru saja tiba di Pontianak setelah berlibur ke Kuching. Pukul sebelas malam, Bibi sudah menungguku di loket bus. Sudah sejak sore dia menungguku.
            Ternyata sudah hampir tiga bulan Mei sakit di Surabaya. Bibi sudah tidak tahan dengan semua ini. Sebelum berpisah, Bibi berpesan agar membuka angpau amplop merah yang tertinggal di sepitku dulu. Ternyata, itu bukan angpau yang sama diterima oleh pengemudi sepit lain. Surat itu memang sengaja ditinggalkan di sepitku.
Kini ku tahu mengapa Mei berusaha menjauh dariku. Mama Mei adalah dokter yang mengambil keputusan untuk melakukan operasi kepada Bapak. Mama Mei dibutakan dengan “prestasi”, “tinta emas”, dan sejenis itulah jika dia berhasil. Tapi, saat melihatku menangis sendirian di lorong rumah sakit, saat melihat Ibu berusaha memelukku, Mama Mei sadar. Itu yang membuat Mama Mei depresi berat dan akhirnya meninggal. Malam itu aku benar-benar tidak bisa memicingkan mata walau sedetik.
Aku segera berangkat ke Surabaya dengan penerbangan pertama. Menumpang taksi ke rumah Mei.
Aku memegang tangan Mei sambil menahan air mata. “Aku berjanji akan selalu mencintai kau, Mei. Bahkan walau aku telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan kali, tahu masa lalu yang menyakitkan, itu tidak akan mengubah apa pun. Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, menghinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Kapuas, maka siapa agi yang bisa kaupercaya?”
Mei menangis bahagia mendengar kalimat itu.
Sekarang dia sama riangnya dengan seluruh gadis di Pontianak, tempat dia kembali mengajar.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar